Anak-anak kerap kali bicara dengan intonasi yang keras atau meninggi sebagai ekspresi diri mereka. Ini dapat dipicu oleh beberapa hal, misalnya pertumbuhan otak mereka, dorongan untuk mendapat penghargaan perhatian, hingga mengulang pola interaksi sosial lingkungan sekeliling.
Walau merupakan bagian dari pertumbuhan mereka, mengenali penyebab di balik tindakan tersebut bisa mendukung orang tua dalam menyediakan arahan yang lebih baik sehingga si kecil dapat mengeksplor komunikasi secara positif dan efisien.
Kali ini
News
akan merangkum
Alasannya kenapa anak-anak gemar berlomba-lomba
Yang perlu Mama ketahui nih. Dengar baik-baik ya, Ma!
1. Proses perkembangan otak anak masih berlangsung
Anak-anak antara umur 5 sampai 9 tahun kerap kali menjadi marahan atau bereaksi dengan nada keras yang kini mungkin kita dengar sebagai “ngegas”. Meski tampaknya mereka nakal, Ibu perlu tahu bahwa hal itu tidak selalu demikian. Perilaku tersebut biasanya dikarenakan oleh perkembangan otak si kecil yang belum sempurna. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk mengerti proses pertumbuhan otak sang anak dan juga membimbing serta memberikan respons yang tepat dalam menangani situasi semacam ini.
Pritta Tyas, selaku ibu serta psikolog klinis dan keluarga, juga pernah merasakan hal yang sama. Anak-anaknya belakangan ini kerap kali bicara tanpa filter atau menggunakan intonasi keras, disertai dengan penggunaan kata-kata yang kurang tepat. Dia menyebutkan bahwa saat dia menanyakan sesuatu pada si kecil, balasan yang didapat cenderung kasar.
Bagian otak anak dapat dipisahkan menjadi dua yakni, otak yang berfokus pada aspek rasional.
(Prefrontal Cortex)
dan otak emosional
(Limbic System).
Anak-anak mempunyai otak rasional yang belum berkembang dengan baik sehingga mereka belum mampu menahan diri secara total dari emosi dan dorongan spontannya. Di sisi lain, bagian otak yang mengendalikan perasaan masih mendominasi perilaku mereka. Karena itu, ketika anak merasakan kekecewaan, mereka cenderung bertindak segera tanpa banyak pertimbangan. Akibatnya, anak sering kali bicara sembarangan dikarenakan pemikiran yang didorong oleh emosi dibandingkan akal sehat.
2. Mengikuti gaya berkomunikasi yang ada di lingkungan sekitarnya
Seringkali, anak-anak mencerminkan gaya komunikasi lingkungan mereka, seperti intonasi bicara yang kuat atau agresif. Keputusan ini biasanya didorong oleh pemantulan pola perilaku dari orang tua, sahabat, maupun individu dewasa lainnya dalam radius sosial mereka yang memiliki kecenderungan berbicara secara lantang dan penuh ketegasan. Apabila si anak kerap melihat bagaimana orang disekitarnya bertutur kata dengan sikap bergejolak atau suara keras, hal tersebut kemudian menjadi standar bagi dirinya tentang metode interaksi yang layak digunakan. Namun demikian, ia mungkin tidak sepenuhnya sadar jika pendekatan semacam itu dapat dipersepsikan sebagai sikap kasar serta kurang santun.
Di samping itu, anak-anak yang menyaksikan acara TV atau animasi di mana tokoh-tokohnya berbicara dengan nada tinggi dan dramatis pun bisa mengikuti pola bicara seperti itu. Mengingat mereka belum benar-benar paham terhadap aturan komunikasi sosial, si kecil lebih condong untuk mereproduksi apa saja yang tertangkap telinganya atau penglihatannya dari lingkaran sekeliling, termasuk bagaimana caranya berceloteh.
3. Kekurangan dalam mampu berkomunikasi secara efektif
Anak-anak yang belum mampu membentuk kemampuan berkomunikasi secara efisien kerap kali mendapat tantangan dalam menunjukkan perasaan ataupun hasrat mereka dengan damai serta jernih. Saat mereka berasa frustasi lantaran tak sanggup melontarkannya, mereka cenderung berkomentar dengan nada lebih tinggi atau kasar sebagai pelarian dari emosinya. Ini disebabkan oleh kurang penuhnya pemahaman si anak tentang pengendalian diri maupun pengetahuan soal penggunaan bahasanya sendiri untuk tujuan interaksi sosial.
Akibat batasannya dalam hal komunikasi, anak-anak bisa merasa lebih gampang memakai volume tinggi atau nada yang lebih bermusuhan demi mendapat sorotan dan tanggapan dari sekitarnya. Mereka masih kesulitan menyampaikan perasaan lewat ucapan yang lebih halus atau teratur, jadi metode bicara ekspresif ini menjadi alternatif bagi mereka guna mencuri perhatian atau melambangkan rasa tidak nyaman.
4. Mencari perhatian
Seringkali, anak-anak akan menggunakan nada bicara yang tinggi atau penuh semangat saat mencoba mengambil perhatian orang-orang di sekelilingnya. Hal ini biasanya dilakukan karena mereka percaya bahwa gaya komunikasi yang intens atau teatrikal cenderung mendapatkan respon lebih cepat dari orang tua maupun individu lain. Dengan bersuara kuat, si anak yakin bahwa pandangan serta harapannya menjadi lebih mudah untuk dipertimbangkan dan diamati oleh orang lain.
Terkadang, anak-anak juga mengungkapkan diri melalui gaya bicara yang kuat saat mereka mencoba menyampaikan kebutuhan atau harapan yang belum tersentuh, misalnya rasa cinta atau penghargaan. Apabila mereka merasa tidak memperoleh cukup porsi perhatian, bisa jadi mereka akan bersuara dengan nada yang lebih tegas supaya para orang dewasa menjadi lebih sadar tentang kehadiran serta ketersediaan mereka. Hal ini merupakan metode bagi mereka untuk berinteraksi dan memberitahu bahwa mereka sangat mengharapkan adanya hubungan yang lebih dekat dan personal.
5. Overstimulasi atau kelelahan
Kelelahan akibat overstimulasi pada anak timbul saat mereka dihadapkan pada jumlah stimulasi yang melebihi batas, misalnya bunyi keras, aktivitas berlebihan, atau hubungan sosial yang sangat intensif. Ketika hal tersebut terjadi, sistem saraf si Kecil dapat menjadi letih sehingga mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengatur perasaan dan emosi. Sebagai hasilnya, tindakan dan ucapan anak cenderung mencerminkan sifat emosional yang meningkat; contohnya adalah bicara dengan volume lantang atau berekspresi secara impulsif sebagai ungkapan dari rasa frustrasi serta kesulitan dalam mengelola semua stimulasi sekaligus.
Kehilangan energi pun bisa jadi alasan di balik perilaku bicara anak secara lebih bermusuhan. Saat si kecil tidak mendapatkan cukup tidur atau melakukan begitu banyak tugas, mereka bakal merasakan penatan, yang bikin mereka semakin peka serta gampang tersinggung. Jika sudah capek, biasanya sulit bagi anak-anak untuk menahan emosi dengan damai, sehingga mungkin saja bertindak agresif. Karena itu, sangat diperlukan oleh para orang tua agar menyediakan durasi cukup buat anaknya beristirahat dan membatasi rutinitas yang dapat menciptakan kondisi overstimulasi demi menjaga ketenangan serta kontrol atas suasana hatinya.
Saran bagi orang tua dalam menangani anak yang berbicara kasar
Untuk ibu yang memiliki anak cenderung berbicara terlalu cepat atau banyak, jangan kuatir karena cara mereka berkomunikasi dapat berkembang sejalan dengan tumbuh kembangnya. Di samping itu, ibu juga bisa mengadopsi beberapa pendekatan dalam menanggapi perasaan si kecil. Berikut adalah beberapa contohnya:
-
Tetap tenang:
Apabila anak bicara kasar, lebih baik bagi orang tua untuk tidak membalas dengan perilaku serupa. Sebab, otak anak cenderung mengambil dan mensimulasikan pola komunikasi serta gaya bahasa dari orang tuanya. -
Validasi perasaan anak:
Mama pun dapat mengakui perasaan anak, misalnya “Kamu sedang merasa kesal, ya? Sampaikan saja kepada Mama, kenapa kamu jadi seperti itu?” -
Ajarkan anak cara mengelola emosinya:
“Bila adik merasa kesal, coba deh adik tenangkan diri sebentar. Setelah itu baru berbicara dengan Mama, oke?” Atau Mama juga dapat membimbing adik untuk bernapas dalam-dalam saat sedang marah dan hembuskan bersamasama. -
Bangun komunikasi dua arah:
Ibu dapat mendengarkan penjelasan si anak lebih dulu sebelum memberikan respon.
Nah, itulah informasi mengenai
sebab anak gemar berbicara dengan cepat dan liar
Yang dapat menjadi wawasan baru untuk Mama dalam bidang pengasuhan anak. Mudah-mudahan berguna!
- Perkataan Toxic yang Menghalangi Anak Dalam Membangun Kecerdasan Emosional
- Mama Wajib Ketahui, Tahap Pengembangan Kecerdasan Emosional Si Kecil
- 7 Alasan Kenapa Keamanan Emosional Sangat Berarti untuk Hidup Anak