JAKARTA, News
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Nasional (DPN) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristianto, menghadiri persidangan pertama kasus dugaan suap terkait Harun Masiku pada hari Jumat tanggal 14 Maret 2025.
Pada kesempatan membacakan tuntutan di pengadilan, beberapa tuduhan penting muncul dari KPK terhadap Hasto serta peranannya dalam kasus yang sudah berlangsung sejak tahun 2019.
Hasto dituduhkan telah melancarkan berbagai upaya untuk mencegah investigasi berkaitan dengan skandal suap terkait pergantian anggota DPR RI.
“Sengaja melaksanakan tindakan yang menahan, mempersulit, atau mendisable investigasi terkait tersangka Harun Masiku baik secara langsung maupun tak langsung,” jelas jaksa saat persidangan di Pengadilan Tipikor (Pencucian Uang dan Suap) PN Jakarta Pusat.
Pada saat membacakan tuduhan, jaksa mengkritik perbuatan Hasto yang diyakini telah memberi instruksi kepada Nur Hasan supaya menyuruh Harun Masiku mencelupkan ponselnya ke dalam air.
Instruksi tersebut diberikan setelah KPK menangkap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, pada tanggal 8 Januari 2020.
Sebab itu, Harun Masiku diduga sedang diburu oleh petugas investigasi KPK dalam rangkaian pemeriksaan kasus suap penggantian anggota DPR RI.
Berikan perintah untuk bersembunyi di kantor DPP PDI-P
Bukan hanya itu, Hasto dikabarkan pula menginstruksikan Harun supaya menyembunyikan diri di kantor partai tersebut.
Jaksa menyatakan bahwa alasan dari tindakan tersebut adalah untuk mencegah Harun diketahui oleh pihak Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Terdakwa menginstruksikan Harun Masiku agar tetap menantunya (
stand by
) di kantor DPP PDI Perjuangan dengan maksud supaya kedatangannya tak dapat dikenali petugas KPK,” katanya.
Berdasarkan hasil penyelidikan dari tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terungkap bahwa Harun Masiku selanjutnya bertemu dengan Nur Hasan di Hotel Sofyan Cikini, dan setelah itu mereka pindah ke Politeknik Ilmu Keamanan (Poltekam) atau biasa dikenal sebagai Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
“Tetapi, saat penyelidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi mengunjungi PTIK, mereka gagal menemukan Harun Masiku,” ujar sang jaksa.
Berdasarkan tindakan yang dilakukan, Hasto di dakwakan telah mengabaikan Pasal 21 UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Penegakan Hukum Terhadap Pelaku TindakPidana Korupsi bersama denganPasal 65 Ayat (1) KUHAP.
Sentilan kubu Hasto
Setelah mendengar penuntutan, pengacara Hasto, yaitu Febri Diansyah, mengemukakan pendapatnya di hadapan pers.
Febri menyoroti tuntutan itu karena kurang teliti dalam penyusunan, memperhatikan adanya kesalahan pengacakan hukum.
” Salah satu pasal terpenting dalam tuntutan pertama ternyata berkaitan dengan penggunaan hukum yang tidak tepat,” jelas Febri.
Febri mengindikasikan bahwa sebaiknya jaksa menyertakan Pasal 65 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bukannya Pasal 65 dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Maka, aturan tersebut dikesampingkan dan tidak dieksekusi untuk mempercepat proses penyerahan kasus,” katanya.
Walaupun kesalahan hanya terdapat pada sebuah huruf, menurut Febri, namun perbedaan tersebut menjadi cukup signifikan.
Menurutnya, Pasal 65 KUHAP menetapkan tentang hak terdakwa dalam hal memanggil saksi dan pakar yang dapat meyakinkan pihak penegak hukum.
Sebaliknya, masalah Hak Hasto untuk memanggil saksi dan pakar yang bisa melemahkan tuduhan justru disepelekan oleh KPK saat mereka menjalani proses penyelidikan.
“Maka, aturan itu diabaikan dan tidak diterapkan untuk mempercepat penyerahan kasus,” jelasnya yang pernah menjabat sebagai juru bicara KPK tersebut.
“Sebenarnya, masalahnya adalah ketikanya salah seperti itu. Itulah catatan kita yang pertama, tentunya,” katanya.
Kekurangan dalam isi tuntutan menjadi fokus perhatian.
Selain itu, Febri juga mengkritik ketidakkonsistenan pada isi tuduhan tentang asal-usul dana sebesar Rp 400 juta yang dipergunakan Harun Masiku untuk memberi suap kepada Wahyu Setiawan.
Dia menyatakan bahwa tuduhan itu adalah hasil penggabungan dari beberapa laporan penuntutan yang tidak sama.
Menurutnya, ada perbedaan antara informasi yang disajikan dalam dokumen penuntutan yang dia ajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kami menemukan inkonsistensi,” ungkapnya.
Dia mengatakan bahwa tuduhan yang disampaikan oleh Jaksa KPK adalah hasil penggabungan dari tiga berkas dakwaan milik Wahyu Setiawan serta mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina, Saeful Bahri, dan Hasto.
Mantan Juru Bicara KPK tersebut menyebutkan bahwa di dalam surat tuntutan Wahyu, tercatat antara tanggal 17 hingga 19 Desember 2019, Harun Masiku memberikan uang senilai Rp 400 juta kepada Saeful Bahri.
Wahyu dan Tio kini telah dijatuhi hukuman dan menikmati kebebasan mereka.
Pada pengajuan yang diumumkan hari ini, disebutkan bahwa dana senilai Rp 400 juta kelihatannya berasal dari Hasto.
Perkara yang menyangkut Hasto dan Wahyu Setiawan adalah bagian dari serangkaian kasus terkait dengan suap Harun Masiku.
Dia mengacukan bahwa KPK dapat menyusun dua tuduhan berdasarkan bukti yang saling bertentangan.
“Apa dengan merombak tuduhan hanya untuk menjebak Hasto Kristiyanto?” katanya.